Harakiri atau bunuh diri ala jepang menjadi
salah satu tradisi negara sakura ini. Harakiri dilakukan dengan cara menusukan
samurai ke perut sang pelaku hingga tewas akan tetapi, tradisi ini makin
berkembang dengan beragam cara, mulai dari menusukkan samurai, menenggak racun,
gantung diri, menabrakan diri di kereta, hingga loncat dari ketinggian tertentu
yang mematikan.
Bahkan di tahun 1945 saat Perang Dunia ke-II, Harakiri berkembang menjadi sebuah adegan yang lebih dahsyat. Para pilot jepang menabrakan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang semakin dekat ke Jepang. Gerakan ini dikenal dengan nama Kamikaze (angin yang besar). Kamikaze – pun tiada lain adalah harakiri yang diwujudkan dalam bentuk super “heroik”.
Bahkan di tahun 1945 saat Perang Dunia ke-II, Harakiri berkembang menjadi sebuah adegan yang lebih dahsyat. Para pilot jepang menabrakan dirinya ke kapal-kapal sekutu untuk menghambat pergerakan musuh yang semakin dekat ke Jepang. Gerakan ini dikenal dengan nama Kamikaze (angin yang besar). Kamikaze – pun tiada lain adalah harakiri yang diwujudkan dalam bentuk super “heroik”.
Harakiri
menjadi sebuah “fenomena” menarik untuk ‘dikaji’ mengingat bagi saya banyak
values yang terkandung di dalamnya. Lepas dari pandangan kita bahwa tindakan
tersebut tentulah tidak “wajar”. Di berbagai negara lain, termasuk Indonesia,
tindakan bunuh diri juga acap kali muncul. Pun juga di negara-negara maju
lainnya. Lalu apa yang membuat “harakiri” menjadi lebih unik untuk dibahas ?
Bagi saya,
motif “harakiri” itu yang membuat perbuatan ini menjadi banyak “nilai” untuk
diserap. Saya mengamati, setidaknya ada tiga motif dibalik bunuh diri ini :
PERTAMA :
motif HARGA DIRI. dengan motif ini, para samurai dulu melakukan bunuh diri demi
menjaga harga dirinya. Tindakan kamikaze di saat PD II pun saya golongkan dalam
motif ini. Jepang tidak ingin sejengkal pun tanah mereka di injak oleh AS dan
sekutunya, hingga dengan cara apapun, pergerakan musuh mereka harus ditahan.
Kisah pertempuran di Iwojima (Letters from Iwojima) menunjukkan heroisme
tentara Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah
terakhir mereka. Satu lagi yang menarik, dalam film “The Last Samurai”, Ken
Watanabe yang berperan sebagai seorang samurai melakukan adegan harakiri demi
menjaga harga dirinya ketimbang bertekuk lutut pada tentara Tidak aneh, para
korban-korban harakiri tersebut mendapatkan penghormatan yang besar dari
masyarakat, termasuk dari orang yang pada masa hidup tidak menyukainya.
KEDUA :
motif MALU. Motif ini paling dominan dilakukan oleh pelaku harakiri di masa
kini. Motif “tidak bisa menahan malu” dilakukan oleh berbagai kelompok
masyarakat, mulai dari pejabat, akademisi, hingga rakyat biasa. Tahun 2007 kita
masih ingat “kejutan” di jajaran Kabinet Shinzo Abe (PM Jepang pengganti
Koizumi) dengan tewasnya Menteri Pertanian mereka akibat kasus bunuh diri.
Diyakini, tindakan tersebut dilakukan karena Sang Menteri tidak bisa menahan
malu akibat skandal kasus korupsi yang diduga (masih dugaan) membelitnya. Di
tahun yang 2006, seorang professor (associate) tewas bunuh diri di dalam
laboratoriumnya (kasus di kampus kami, Osaka University) yang diduga melakuka
pemalsuan data risetnya dalam sebuah jurnal ilmiah terkemuka dibidang
bioscience. Kasusnya kemudian diangkat Majalah Nature, majalah nomor wahid
dalam bidang science, dalam sebuah artikel “Mysteri surrounds lab death”
Kelompok pelaku bunuh diri ini didorong oleh ketidak mampuan mereka menahan malu akibat kasus-kasus yang menimpanya.
Kelompok pelaku bunuh diri ini didorong oleh ketidak mampuan mereka menahan malu akibat kasus-kasus yang menimpanya.
KETIGA :
motif BALAS DENDAM. Pada kasus ini, biasanya dilakukan oleh seseorang yang
kecewa pada keluarganya. Misal seorang anak yang merasa tidak diperlakukan
adil, dan lain sebagainya. Tindakan bunuh diri dilakukan dengan menabrakan diri
pada kereta api. Dengan tindakan seperti ini, umumnya keluarga sipelaku akan
kerepotan karena dikenai tuntutan mengganggu ketertiban umum. Keluarga pelaku
akan dituntut membayar ganti rugi oleh perusahaan kereta akibat keterlambatan
yang disebabkan oleh peristiwa tabrakan tersebut. Bukan hanya itu, keluarga
pelaku juga harus menanggung kerugian dan meminta maaf pada semua penumpang
yang merasa dirugikan dengan kejadian ini. Repotnya keluarga inilah mungkin
yang dimaksudkan dengan upaya “balas dendam” si pelaku.
Hal
menarik dari tiga motif di atas kalau kita cermati bahwa tidak satu pun pelaku
bunuh diri melakukan harakiri karena himpitan ekonomi atau kesusahan. Tidak ada
orang yang serta merta gantung diri akibat tidak bisa membeli beras atau
kendala ekonomi lainnya. Inilah yang membedakan dengan banyaknya bunuh diri di
Indonesia. Rata-rata, kasus bunuh diri di negeri kita lebih banyak didorong
oleh himpitan ekonomi. Adanya anak yang gantung diri akibat tidak bisa membeli
buku sekolah, ibu yang membunuh anaknya, dan seterusnya. Ekonomi masih menjadi
motif utama kasus-kasus bunuh diri di negara kita. Meskipun tentu, beberapa
kasus didorong oleh motif di luar ekonomi.
Itu sekilas tentang Harakiri gan....semoga bermanfaat!!
0komentar:
Posting Komentar
Harus Komentar!!